Kata O-Bon berasal dari kata sanskrit urabon (urabana yang artinya 'digantung terbalik'; pederitaan yang sangat mendalam). Upacara peringatan arwah O-Bon konon bermula pada kisah yang berasal dari Buddhisme berikut ini. Alkisah salah seorang dari 10 murid utama Budha, orang suci Mokuren,
dengan kemampuan ajaibnya mencoba melihat keadaan kedua orangtuanya.
Didapatinya, ibunya telah terlahir kembali ke dunia hantu lapar; tidak
bisa makan-minum, bentuknya pun tinggal tulang dan kulit saja. Mokuren
tentu saja merasa sangat sedih. Sambil menangis dia datang mengadu
kepada Buddha. Buddha memberi petunjuk kepadanya untuk melakukan
sembahyangan arwah dengan sesajen berikut ini agar arwah leluhur dapat
diselamatkan dari siksaan neraka. Sesajennya berupa: beras, hyakumi (banyak
macam minuman dan makanan), 5 macam buah-buahan, air, lampion dan
perlengkapan tidur (baju tidur, selimut,ddl.). Dari situlah asal mulanya
upacara peringatan arwah secara Buddhis.
Saya pernah melihat upacara yang dinamakan "Hungry Ghost Festival"
(festival hantu lapar) di China Town Singapura. Upacara tersebut sama
seperti apa yang diadakan di Jepang, yakni upacara mempersembahkan
sesajen bukan saja bagi hantu lapar, melainkan juga kepada arwah nenek
moyang.
Di Indonesia, saya pernah menyaksikan ritual perayaan tahunan cioko dalam
masyarakat keturunan China. Mereka juga mempersembahkan makanan dan
buah-buahan bagi arwah nenek moyang. Namun yang berbeda dengan Jepang
adalah tindakan mereka membakar uang-uangan dari kertas, mobil-mobilan
dan benda lain yang juga terbuat dari kertas. Berdasarkan pemikiran
bahwa alam baka di mana nenek moyang berada agaknya sama dengan dunia
manusia, dipanjatkanlah doa agar arwah para nenek moyang tidak mendapat
kesulitan uang atau rumah di alam sesudah kematiannya di dunia fana.
Di klenteng yang letaknya tidak jauh
dari tempat kos saya, saya melihat benda-benda kertas tersebut dibakar
dan pada waktu yang sama sebuah kapal-kapalan dari kertas yang besar
ikut diceburkan ke tempat pembakaran. Di Jepang juga, dalam hal ini saya
membicarakan desa saya, upacara O-Bon diakhiri dengan persembahan
bentuk sapi-sapian yang dibuat dari sayur terong- konon untuk keperluan
pulangnya kembali arwah nenek moyang ke dunianya- yang dinaikkan ke atas
perahu kecil anyaman jerami, dan kemudian dilarungkan. (Dewasa ini
larung dilarang agar tidak menimbulkan pencemaran sungai). Wahana yang
menghubungkan alam baka dan dunia manusia adalah perahu atau kapal,
itulah titik persamaan yang menarik.
Cioko merupakan salah satu ritual Teosisme
dari negeri China. Dalam ajaran tersebut ada tanggal-tanggal tertentu
yang dianggap penting, yaitu tanggal 15 bulan pertama, tanggal 15 bulan
ke-tujuh, tanggal 15 bulan ke-sepuluh dalam sistem kalender sistem
kalender lama atau kalender Imlek. Upacar penghormatan arwah nenek
moyang menurut Taoisme, dan Urabon Buddhis
yang keduanya sama-sama berlangsung pada pertengahan tahun, konon saling
terkait, antara lain termasuk manifestasi berupa upacara Cioko yang sekarang diadakan di kalangan tertentu.
Di Jepang pada masa Jaman Edo
(1603-1868) muncul kebiasaan tukar-menukar hadiah pada kesempatan
festival syukuran tengah ulan ke-tujuh. Itulah yang menjadi apa yang
disebut dengan o-chugen, yakni kebiasaan
memberikan hadiah kepada orang-orang yang pernah berjasa ke pada si
pemberi hadiah. Hadiah biasanya diberikan sekitar tanggal 15 bulan
ke-tujuh berdasarkan sistem kalender lama. Demikianlah, di Jepang pada
bulan Juli atau Agustus orang berbondong-bondong ke toko sambil membeli
barang untuk hadiah o-chugen. Toserba tidak menyia-nyiakan kesempatan baik itu dengan menyediakan secara khusus layanan dan counter o-chugen. Bagi toserba, o-chugen bersama dengan o-seibo (kebiasaan memberikan hadiah pada penghujung tahun) merupakan "masa panen".
Bon-Odori ala Jepang tergantung pada derah, terdapat beraneka variasi.
Tarian
Bon-Odori biasanya diiringi musik rekaman dari kaset yang diputar,
namun di desa-desa masih banyak yang diiringi musik hidup (langsung
dimainkan di tempat/ bukan rekaman).
Konon hal yang penting dalam koreografi Bon-Odori
adalah "langkah mantap" menginjak bumi. Dalam kepercayaan tradisional
Jepang, ada kepercayaan khusus terhadap dewa bumi. Di mata orang asing,
gulat Sumo merupakan olahraga yang eksotis, padahal sebenarnya bukanlah
semata-mata olahraga karena sejak dulu merupakan salah satu ritual yang
dilangsungkan di kuil Shinto. Pernahkah anda memperhatikan bahwa
menjelang dimulainya pertandingan Sumo, pegulat Sumo berulang kali
menghentakkan kakinya ke bumi? Pada hakikatnya tindakan menghentakkan
kaki sebelum acara pertandingan dimulai adalah sangat penting. Hal ini
mengandung makna permohonan kepada dewa bumi untuk memperoleh panen
melimpah "gokoku" (5 macam hasil bumi: beras, gandum,
jagung, kacang dan jewawut). Ritual Sumo yang berlangsung di kuil Shinto
memang sesungguhnya bertujuan demikian.
Tindakan menghentakkan kaki ke umi
terlihat dalam tari Bon-Odori, demikian pula dalam gulat Sumo,
menunjukkan kepercayaan terhadap bumi yang dianut oleh rakyat Jepang
(yang dulunya) adalah kaum tani.
Cukup menarik pula bahwa agaknya di Indonesia, khususnya dalam tarian Jawa, terdapat hal yang sama.
Meski tidak bisa menari dengan baik,
saya menyukai tarian Jawa. Saya merasa beruntung sudah dua kali
menyaksikan ritual tari Bedaya Ketawang di keraton surakarta, yang
biasanya diselenggerakan sekali setahun dalam sistem kalender Jawa atau
pada kesempatan pelantikan raja. Menurut seorang teman saya orang Jepang
yang sedang memperdalam pengetahuan tentang tari Jawa, bila
dibandingkan dengan tarian Jawa lainnya, dalam Bedaya Ketawang terdapat
banyak gerakan kaki. Tambahan pula, ada gerakan hentakan kaki di tanah.
Bon-Odori dan Bedaya Ketawang barangkali
sangat berbeda. Akan tetapi, ada persamaan perbedaan. baik di Jawa
maupun Jepang terdapat daerah persawahan (penanaman padi) yang cukup
luas di mana tumbuh subur kepercayaan animisme (di jaman dahulu),
terutama berkenaan denga dewa tanah. Seperti juga di Jepang, di Jawa ada
ciri khas kaum tani, yaitu manifestasi kepercayaan terhadap dewa bumi
melalui gerakan "menghentakkan kaki ke bumi" dalam kesenian.
Tradisi Bon-Odori tetap berlangsung di
Jepang masa kini karena masih ada sebagian orang Jepang yang mau
melestarikan nilai-nilai tradisional budaya. Termasuk juga di Surabaya,
Festival Bon Odori diselenggarakan setahun sekali, bertempat di SJS
(Sekolah Jepang Surabaya) sekitar bulan Agustus-Oktober. Bagi Minnasan
yang ingin mengetahui bagaimana proses dan suasana Bon-Odori di
Surabaya, silahkan datang ke perayaan Bon-Odori di tahun berikutnya
(^_^*)
Sumber:
Ditulis oleh: Hiroko Yamamoto, M.A (Pengamat Budaya)
Ditulis oleh: Hiroko Yamamoto, M.A (Pengamat Budaya)
Sumber: Aneka Jepang No. 290/2001 (4) Halaman 9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar